BUDAYA BACA DAN PEMERDEKAAN BANGSA

Memasuki usia ke-71 tahun kemerdekaan,  Indonesia berada dalam era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi canggih dan komunikasi mondial. Roger Fidler (1997) menyebut era ini sebagai budaya mediamorphosis ketiga atau menurut bahasan Walter Ong (1982) disebut sebagai budaya lisan kedua. Budaya mediamorphosis ketiga atau budaya lisan kedua adalah budaya televisi atau budaya nonton. Mediamorphosis pertama adalah budaya lisan, yang diikuti munculnya budaya baca dan tulis sebagai mediamorphosis kedua, selanjutnya adalah era televisi sebagai mediamorphosis ketiga. Dan kini kita sudah dalam generasi Internet.  Meskipun menurut beberapa pengamat komunikasi, sebenarnya kita tidak pernah berada pada budaya baca dan tulis, namun dari budaya lisan pertama langsung menuju ke budaya lisan kedua.

Oleh televisi dunia budaya kita seakan-akan dibawa menjelma menjadi sebuah dunia atau lingkungan baru tempat kita seakan disihir untuk tiada henti bersosialisasi dengan makna-makna dan nilai-nilai kehidupan yang baru. Sebuah dunia pascamodern atau sebuah abad televisi yang selalu mengkutbahkan janji-janji akan impian manusia.

Enam puluh tahun Indonesia merdeka adalah The Age of Television, ketika televisi telah menjadi kotak ajaib yang membius para penghuni rumah-rumah anak bangsa. Penelitian ilmiah pun semakin menunjukkan bahwa frekuensi dan lama menonton televisi pada anak-anak, jauh lebih tinggi dibandingkan frekuensi mereka membaca dan belajar. Itu, berarti bahwa proses sosialisasi anak akan lebih besar dipengaruhi isi siaran televisi daripada petuah guru atau orangtua. Budaya nonton telah menjauhkan anak-anak dari realitas keseharian mereka. Anak-anak mungkin merasa gelisah berada di kelas, mereka menanti-nanti habisnya jam pelajaran sehingga bisa segera menikmati acara kesayangan mereka di televisi. 

Kini, tugas dunia pendidikan kita adalah memerdekakan anak didik dari realitas semu yang mereka dapatkan dari dunia tontonan. Guru harus menggugah kesadaran  anak  untuk kembali ke budaya baca dan tulis dengan mendorong mereka membaca buku sebanyak-banyaknya.  Buku adalah pedoman dan tuntunan untuk mendapatkan informasi yang berguna sehingga mendorong peningkatan kecerdasan.

Maka sangatlah baik gagasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan   yang ingin siswanya unggul  dengan memulai mentradisikan budaya membaca melalui program silent reading setiap pagi sejak pukul 07.00 hingga 07.30. Kebiasaan membaca membuat anak menjadi imajinatif, kreatif, dan merdeka dengan pilihannya sendiri Tradisi membaca inilah yang tidak pernah digarap secara serius oleh sekolah manapun.

Kaum profesional seperti Theodor P. Rachmat, analis keuangan Lin Che Wei, dan fisikawan Johanes Surya sangat menganjurkan pemasyaratan budaya baca ini. Anak-anak yang biasa-biasa saja kelak akan tampil menjadi luar biasa bila sejak dini di sekolahnya dibiasakan membaca. 10 sampai 15 tahun lagi anak-anak bangsa kita pasti merdeka dan akan  menuai hasilnya.

224 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *